Pernah kah kau melihat matahari terbit di ufuk timur. Pelan dan berlahan menyemburatkan sinar sukacita pagi kepada mu secara kusyuk. Menyapa kulitmu bersama angin pagi, dingin, menggigilkan sendi-sendi nadimu. Menghela napas sambil melihat kepulan asap putih keluar dari rongga mulud mu yang barusan menggeretakkan gigimu tanda dingin itu terlalu menggigit sukma. Aku pernah bahkan sering. Bahkan terlalu dekat, malah. Hawa panas nan silau wahai mahatari tak sedikitpun mengubah niatku untuk menanti dan menatap semburat warna kuning keemasan muncul setiap pagi. Mulai dari rona keemasan muda , muncul berlahan,semakin kuat keemasaannya, menandakan wahai kau matahari kan menemaniku sepanjang hari ini. Kumohon selalu, antarkan aku menuju jalan cahaya mu,jika itu yang dapat membuat aku bersama dia.
Masih seperti pagi kemarin, aku masih setia menunggu mu wahai matahari,menyemburatkan sinar di ufuk timur. Aku tau, dia selalu menanti-nantikan saat ini, agar ketika dia terbangun dari tidurnya telah menemukan kau disana seraya berkata, wahai matahari , apakah malaikatku akan tetap menemaniku sepanjang hari ini ? Dan dia pun tersenyum,ketika kau menerpakan sinar ke wajahnya, seperti anggukan kepala manusia yang setuju. Dia telah mengerti arti terpaan sinar itu. Dan itulah yang membuat dia akan selalu bersemangat bersinar menjalani hari.
Pagi ini aku melihatmu bangun terburu-buru, seperti biasa kau selalu terlambat. Kau jerangkan dua ceret air di tungku, satu untuk air mandi anak-anakmu, yang satunya lagi untuk sepoci teh yang akan menghangatkan pagi kalian.
Aku tersenyum ketika kau berguman selamat pagi, seraya memandang sekilas kepadaku. Aku tau, sekilas bukan tak berarti bagimu, tapi aku tau , sekilas itu adalah mengenyahkan rasa rindumu kepada ku yang terkadang membuat kau akan berair mata jadinya. Sungguh aku pun tak ingin melihat kau berair mata di pagi ini, karena matahari pun tak akan mengamininya.
Sudah tigapuluhenam malam purnama terlewati tanpa mu
Beribu detik sudah kita lewati bersama dengan waktu cahaya yang berbeda
Bermiliar kali degupan jantungmu berdetak, aku hanya dapat mendengarnya dari jauh
Aku tau sudah tigapuluhenam malam purnama kau menunggu-nunggu
Hampir setiap malam itu, matamu berkaca-kaca
Tapi kadang kau usap cepat, seakan-akan takut ada yang melihat
Tapi terkadang kau lepaskan sedumu, lama, terisak-isak menggumankan kata yang menyayat hatiku
Aku pun ikut menangis, karena tak kuasa menghentikan isakmu.
Jarak kita terlalu dekat hanya sebatas cahaya. Hanya saja cahaya itu memiliki lorong waktu yang berbeda. Waktu tak berarti disini. Aku dapat terbang kemanapun aku pergi . Begitulah yang kulakukan setiap kali tak kuasa mendengar ratap mu, aku melayang menjauh sejauh yang aku bisa. Dan aku akan kembali lagi bersama sinar mentari pagi meronakan hatimu dengan cahaya cintaku.
Kau masih menunggu-nunggu
Kau masih berkaca-kaca
Kau masih menatap langit malam dan berguman , "aku tak melihat bintang lagi malam ini"
Hatimu berharap bintang datang malam ini
Hatimu berharap aku datang
Dan malam ini setelah tigapuluhenam malam purnama tak kita lewati bersama
Aku datang…
Kita tak bersentuhan
Hanya berdialog, dengan bibirmu yang terkatup rapat
Jiwa kita saja yang saling berbicara
"Seperti apakah rasanya," kau bertanya setelah ku katakan aku baik-baik saja
"Rasanya seperti ditiup angin, " kujawab singkat
"Apakah dingin disana," tanyamu kembali
"Dingin namun hangat," jawabku
Jeda sejenak
"Aku belum pernah merasakan dingin namun hangat, seperti apakah itu," jiwamu berguman
"Seperti ketika aku mencium keningmu dulu," aku menjelaskan
Jiwamu tersenyum, sepertinya kau mulai mengerti
"Aku begitu rindu," lanjutmu
Aku tak menjawab, namun kuhantarkan cahaya paling hangat ke jiwamu
Kau tersenyum, namun masih berkaca-kaca
Jeda kembali, cukup lama
Aku tau begitu banyak yang ingin kau ucap. Namun sepertinya jeda adalah lebih baik saat ini
"Aku selalu merasakan kau tetap ada," ucapmu
"Aku tak pernah meninggalkanmu," bisik jiwaku
"Aku selalu menunggu-nunggu saat seperti ini, namun mengapa lidahku seperti kelu," kau keluhkan rasa itu.
"Kau pikir aku tidak, aku juga demikian, kelu," jiwaku ku berkata lirih
"Terkadang aku ingin terbang melayang,mencari jiwamu,tapi aku ingat dua malaikat kecilku ini, mereka yang membuat aku mengurungkan niatku, " hatimu tak berbohong
"Aku tau. Dan ketika kau hampir melayang jauh waktu itu, aku meminta beribu-ribu malaikat mengantarmu kembali, demi dua malaikat kecil itu. Belum saatnya dan masih lama," lanjutku
"Aku begitu nelangsa tanpamu," uraimu berair mata
Jiwaku masih menghantarkan cahaya hangat masuk ke sanubari jiwamu yang terdalam
Aku ingin cahaya ini menguatkan jiwamu yang nelangsa. Biarkan cahaya jiwaku menghancurkan jiwa-jiwa nelangsamu , mendepak dari sudut jiwamu yang terdalam, menggantikan jiwamu dengan seberkas sinar cahaya jiwaku. Kemudian mengenyahkan jiwa nelangsa itu untuk selama-lamanya. Aku ingin kau hidup sebagai lentera untuk kedua malaikat kecil mu , melenterai perjalanan hidup mereka segaris hidupmu.
"Aku merasa hidupku koma, " lanjutmu "Aku merasa seperti dikutuk oleh sang khalik. Berjalan tanpa arah, berharap terlalu banyak, berdosa sedosa-dosanya, mengerdilkan diriku, berpenyakit tak terdiagnosa. Aku koma dalam tidur panjang ku. Tertatih-tatih membawa punggungku. Merasa jiwaku kosong.Hampa. Aku benar-benar koma," kudengar kau seperti meracau.Sedalam itu nelangsamu ternyata.
"Dia tak pernah mengutuk dirimu. Dia tak sekejam itu. Dia itu maha pengiba. Kau kurang dekat dengan Dia. Waktu mu mungkin terlalu mahal untuk bersanding dengan Dia. Itulah yang membuat kau merasa koma, terjebak dalam perasaan jiwamu yang kau anggap kosong itu," apakah aku keliatan seperti meracau ?
Lanjutku, "Aku sering menatapmu dari jauh, bahkan terkadang amat sangat dekat, tapi aku pun tak kuasa mengenyahkan perasaan-perasaanmu itu. Tak siapapun yang sanggup. Barang siapa yang dapat mengenyahkan rasa itu artinya dia sudah sejajar dengan sang empunya langit. Aku tau dan dapat merasakan apapun yang kau rasakan. Kerontangnya hatimu setelah kepergianku disaat satu letupan kecil di jantungmu menandakan putusnya raga duniawiku disitulah rasa itu mulai ada. Dan bagiku, tak ada yang lebih sakit melihat separoh nyawamu pun ikut melayang. Tak kuasa membawa sepotong jiwamu, karena betapa egoisnya aku jika itu kulakukan. Malaikat kecil mu lebih berhak atas sepotong jiwamu itu. Kutahankan rinduku tanpamu, melayang-layang entah kemana, mendekatimu dikala rindu membuncah, kemudian melayang-layang kembali ke berbagai penjuru langit dan ujung dunia.
"Apakah benar kita akan bersama lagi", tanyamu lirih
"Ya, jika Dia berkenan", jawabku, selirih suara sendumu
"Ada banyak hal yang kuputuskan sendiri, dan itu tidak mudah. Terkadang aku ingin menemukan jawaban yang terbaik, tapi sepertinya jauh. Andai kau ada, mungkin memutuskan lebih mudah. Aku baru mulai membiasakan mengartikan dunia tanpamu. Belajar mengerti kicauan angin, belajar mengartikan nyanyian badai, belajar mencintai dukacita, belajar mensyukuri kegalauan dan masih banyak hal yang tak kupahami. Dan itu semua kujalani tanpamu . Andai kau ada…", kau tak kuasa melanjutkan kata-kata lagi, karena keseduanmu telah menghentikannya.
Jiwaku dan jiwamu terdiam sejenak. Butiran airmatamu leleh disela-sela isakan sayup. Oh apakah penantianmu selama tigapuluhenam malam purnama harus berakhir seperti ini. Berakhir sama seperti malam-malam purnama sebelumnya. Mengisakkan tangis nan sendu. Mengakhiri malam dengan mata merah. Aku tak menginginkan itu terjadi. Pertemuan ini sudah lama kurancang. Agar kau tak menunggu-nungguku lagi. Agar kau ikhlas mengantarku. Apa yang harus kubuat?
"Pernahkah kau melihat matahari terbit di ufuk timur. Dengan cahaya keemasannya dia muncul menyapa kulitmu," jiwaku bertanya menyandarkan jiwamu.
Kau mengangguk mengiyakan. " Apa yang kau rasakan," tanyaku. Kau masih terdiam. "Hangat," lirihmu.
"Pernahkah kau melihat bintang di lintang langit," tanyaku kembali . "Pernah, "jiwamu menjawab
"Apakah yang kau rasakan," jiwaku bertanya kembali. "Hangat juga," jawabmu.
Kemudian jiwaku tersenyum kepada jiwamu yang sedikit terpaku.
Jiwaku menyampaikan ini, "Ketika kau merasakan sinar matahari dan kerlipan bintang menerpa wajahmu, kau tau, bahwa jiwaku adalah cahaya yang senantiasa menghangatkan sukma dan ragamu. Aku adalah jalan cahaya yang tak putus menerangi hidupmu. Seperti pesan terakhirku ketika masih bersamamu, jika kau menoleh, maka aku akan ada disana. Itulah janjiku.
"Berapa lama lagi," sepertinya kau tau aku akan pergi.
"Sudah waktunya," jawabku.
"Apakah akan ada hari lain seperti ini lagi," tanyamu
"Ingat janjiku, aku akan ada disana," jiwaku tersenyum menjawab
Iring-iringan cahaya dengan taburan bintang-bintang putih keperakan, dengan selaksa suara riuh merdu menggema, mengantar jiwamu pulang. Dan kau pun tersenyum, sudah kulihat sunggingan ikhlas di bibirmu. Aku tau kau telah mengerti arti penantian mu ini. Seperti pesan terakhirku, jika kau menoleh, aku ada. Aku adalah jalan cahayamu. Selamanya.
Medan 10.12.2008
In memoriam my beloved father "Bapak" 12.12.2005 - 12.12.2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar