Selasa, Maret 03, 2009

BINTANG ( Part 1 )





ULUWATU



Aku terdiam diantara deru ombak yang menerpa karang diantara tebing di Uluwatu. Beberapa kera melompat diantara pura. Kera keramat. titisan sang dewata. Aku menatap laut biru sambil menghela napas panjang. Laut menjadi kecintaanku akhir-akhir ini. Sepertinya lepas beban ini jika menatapnya. Sinar matahari sore tak begitu panas menerpa wajahku. Mataku tak begitu silau melihat cahaya sore mu menerpa permukaan laut. Ombak masih datang silih berganti, berpacu dengan buih putih gelombangnya. Dikejauhan kulihat beberapa perahu, kecil, pelan dan berlahan berjalan ditengah ombak yang sore ini begitu baik hati riaknya. Sebentar lagi sunset akan datang mempesona semua wisatawan yang datang ke sini. Itulah salah satu moment yang ditunggu semua orang, sambil menikmati tarian kecak menjelang turunnya sang fajar ke peraduannya. Beberapa tourist guide membawa serombongan turis, sepertinya dari Jepang atau Taiwan. Berkulit putih dan bermata sipit mereka. Logat bahasanya seperti dari Taiwan. Ya mandarin. Bahasa yang seperti nyaris mirip dengan Hokkien ditelingaku , mengingatkan kepada kota tempat kumenghabiskan sebagian besar hidupku. Teringat dulu aku begitu sering memarahi anak-anakku jika nilai bahasa Mandarin mereka kurang dari tujuh. Angka tujuh menjadi momok menakutkan dimata anak-anakku. Mami tidak pernah kompromi sedikitpun dengan nilai tujuh, teriak anakku Bulan. Teman-temanku malah dapat nilai empat , lanjutnya. Aku selalu marah sewaktu mendengar protes kerasmu. Dalam hatiku lihatlah nanti nak, tak kan menyesal kau dengan peraturan yang kubuat itu. Aku tersenyum mengingat kisah nilai pelajaran Mandarin itu. Kau sedang ngapain Bulan, pastilah saat ini kau sedang sibuk dengan rapat-rapat bisnismu di Hongkong sana. Tentu saja dengan kemampuan bahasa Mandarin mu nan fasih kau sibuk berargumen dengan partner business bos mu ya. Kau memang hebat. Diusiamu yang sangat muda, untuk ukuran bangsa kita kau cukup hebat untuk mendapat kepercayaan dari konglomerat Negara sana. Menjadi salah satu personal assistant handal salah satu taipan Hongkong, pemilik property terbesar disana.



Teringat Bulan, teringat aku kepada Bintang. Anak bungsuku, satu-satunya laki-laki penerus trah marga papinya. Terngiang-ngiang kembali perkataan Bulan tadi malam ditelepon. Mi, Bintang tidak mau kembali. Dia masih sangat marah dengan mami. Mungkin sementara ini mami jangan menghubungi dia dulu. Aku takut hubungan mami dan Bintang makin tegang. Kututup mataku sambil mendengar suara pelan Bulan diseberang sana. Aku bisa mengerti perasaan Bintang tentunya sangat marah kepadaku. Sungguh , siapapun yang mengalaminya tak akan kuat menerima kenyataan seperti yang Bintang rasakan saat ini. Tak mengapa Bulan, mami mengerti kok, sahutku lirih. Biarkan Bintang sendiri dulu, Ya akan kubiarkan Bintang menjauhi ku- untuk sementara. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk membujuk atau berbicara dengan dia. Apapun perasaan nya saat ini padaku, aku terima. Semua ini memang salah ku.



Silau matahari yang mulai turun ke garis laut, membuyarkan lamunanku pada Bintang. Aku melangkah ke sisi tepian tebing. Kusangga tanganku sambil memandang laut, ah…bau ombak serta deburnya tak pernah bosan aku menyambutnya. Kulihat sepintas, arena tontonan tarian kecak sudah mulai penuh. Kecak selalu menjadi atraksi yang membanggakan di tanah Bali ini. Sepertinya jiwa kecak telah membuat setiap hati turis yang datang ikut menari diantara dengungan kata yang keluar dari para pemain. Mendecakkan kagum yang tiada henti, tarian tanpa musik, hanya decakan kaum pria yang menari. Sungguh suatu kesempurnaan disela senja yang semakin dekat. Matahari sebentar lagi turun dari singgasananya. Semilir angin menerbangkan anak rambutku. Masih kutatap laut sambil menunggu turunnya senja. Perlahan diufuk kulihat dia mulai turun, cepat sekali jatuh ke laut. Dan sebentar cahaya kemerahan menyemburatkan sinar, itulah sunset yang tak pernah bosan kutunggu. Kutatap lama, senja telah benar-benar turun. Sebentar kemudian, kegelapan mulai berbenah. Bergantian dengan sang terang terang, mereka kan menemaniku malam ini.



Kuputuskan tak mengikuti atraksi kecak sore ini. Sudah beberapa kali aku memutuskan tak menontonnya lagi. Sejak kesendirianku, tak pernah aku menikmati kecak . Seperti nya bangku disebelah ku selalu kosong jika aku disana, walau ada orang lain yang mendudukinya. Menonton kecak tak senikmat dulu, ketika … ah, mengapa bayangmu selalu ada disini, di Uluwatu tempat perhentian tebing yang terakhir.



AWAL



“Aku bahagia akhirnya kita bisa berduaan disini” Dev melompat memelukku setibanya aku dikamar hotel nya. “Sport jantung aku” kusambut pelukannya erat. “Dari tadi aku gak tenang dipesawat. Perjalanan sepertinya lama sekali. Hampir aku datangi pilotnya agar memaksimalkan laju terbangnya” aku mengomel seraya menggayutkan tanganku di lehermu. “Tapi akhirnya sampai juga kan”, ucapmu sembari melingkarkan tanganmu di pinggulku. Kecupan hangatmu di kening, di mata, begitu lembut. Tanpa kita sadari kita hanyut dalam helaan napas yang sudah lama tertahankan. Bibirmu begitu lembut menyambut bibirku. Sudah begitu lama saat seperti ini kita nantikan. Terbelenggu dengan kehidupan kita yang jauh selama ini. Kata-kata menjadi tidak begitu penting. Tanganmu mulai mengelus seluruh jiwa dan ragaku. Rintihan kecil dan erangan kenikmatan yang tertahankan selama ini telah memuncak diatara geliat tubuh kita. Begitu indah kurasakan. Keringatmu menyatu dengan gelora cintaku. Dalam helaan nafas kecapaian, kau kecup lembut keningku, sembari kau belai anak rambut di dahiku. “ Kau begitu cantik, aku sangat merindukanmu”, lirih kau berkata sambil kau dekap erat seperti tak ingin kau lepas diriku.



Malam kita lalui dengan segala kebahagian yang pernah ada . Aku tak pernah mau jauh dari sisimu sedetikpun. Sebentar-sebentar telepon mu berbunyi. Kadang kau masuk ke kamar mandi, aku tau kau tak mau menyakiti hatiku. Pasti dari dia, istrimu. Kemudian kau kembali memelukku. Kurebahkan kepalaku didadamu. Aku ingin setiap saat bisa begini, bisikku, dan kau tersenyum mendengarnya. Kita nikmati saja waktu kita yang sebentar ini. Aku mencintai kau .Kata-katamu selalu menyejukkan hatiku. Setelah kita siap, kau mulai lagi menggodaku dan berakhir dengan erangan kenikmatan dariku. Malam ini kulalui dengan kau disisiku. Aku peluk erat, kau juga. Sepertinya kita tak ingin berpisah. Waktu kita tak banyak. Karena kita harus kembali ke dunia kita masing-masing. Dunia dimana ruang hati kita , kita bagi untuk istrimu, dan suamiku.



Pagi nan cerah. Wangi tubuhmu masih menggoda ku sepagi ini. Pagi bintangku, kau sapa aku setengah berbisik. Pagi juga sayang, kucuri ciuman kecil dibibir lembutmu. Hm…segar sekali rasanya bangun pagi-pagi dengan ragamu disisiku. Andai ini dapat kita lalui setiap pagi. Dengus napasmu ditelingaku membuat denyut kenikmatan dibagian bawahku. Geliat pinggulmu mencari celah diantara kedua kakiku . Napas yang naik turun membangkitkan segala cinta ku yang pernah ada untukmu. Geliat tubuh kita yang naik turun, tak capai memburu gelora cinta kita, oh sampai kapan kita dapat menikmati saat-saat seperti ini lagi sayang. Gemuruh ombak diluar tak mampu menghentikan kebersamaan kita saat ini. Begitu kuat deburannya menyatu dengan erangan suara kita berdua. Kamar ini menjadi saksi cinta kita berdua. Cinta yang terlarang.





SANG BINTANG



Wah selamat bu, akhirnya yang dinanti datang juga. Dokter Lo mengulurkan tangannya kepada ku dan suamiku. Dengan USG 4 dimensi ini jarang meleset. Dari awal Ibu ketahuan hamil, feeling saya bilang ini pasti laki lho Pak. Wah..senang sekali rasanya. Dua minggu lagi datang lagi lah. Ini kali harus lebih banyak vitamin dan suplemen yang dimakan untuk si Junior ini. Dr. Lo, tak henti-hentinya bercakap. Senang sekali dia. Suamiku pun tersenyum lebar mendegar kabar baik ini. Diusapnya punggung tanganku. Makasih Ma, mudah-mudahan ini menjadi awal hubungan yang baik untuk kita ya. Aku tersenyum. Ada debaran halus bergetar dihatiku. Hampir menitik air mataku. Tapi kutahan, kukejapkan biar tak jatuh. Aku tak ingin kebahagian suamiku pupus karena air mata ini. Tapi sepertinya dia sempat menangkap mataku yang berkaca-kaca. Diusapnya kembali punggung tanganku sambil yang satunya lagi menepuk pundakku pelan. Aku juga terharu Ma, katanya. Air mata harukah ini. Syukurlah kau menganggap demikian.



Kulalui hari hari sembilan bulan ku. Dengan segala sisa hatiku kulewati bulan-bulan tersulit. Siang ini aku duduk dalam hening, sesekali memandang ke luar jendela, ah begitu rindunya aku. Sedang apa kau saat ini. Kuelus perutku yang mulai keliatan. Teringat aku kata-kata Dokter Lo tadi malam, laki-laki. Ya aku akan punya anak laki-laki. Setelah 11 tahun menunggu, akhirnya 4 bulan lagi aku akan melihat anak yang sangat kudamba ini. Semilir angin yang meniup pohon palem diluar sana, dengan silau terik matahari, jalanan ramai sekali. Ini jam makan siang, mengapa aku belum merasa lapar. Sudah beberapa hari ini nafsu makanku tidak ada. Entahlah belakangan ini aku seperti kehilangan gairah, aku merasakan denyut nadiku semakin pelan. Aku melihat tak ada asa lagi yang menjadi alasan aku bertahan. Hanya saja konfirmasi Dr.Lo tadi malam cukup merubah suasana hatiku belakangan ini. Laki-laki? Selama ini memang aku sangat mendambakan anak laki-laki. Di keluarga Batak laki-laki seperti dewa yang sangat dinantikan ditengah-tengah marga. Sepertinya perempuan bukannya titipan Tuhan yang tak bermakna untuk disebut penerus keturunan. Sudah begitu lama aku tak suka dengan arogansi itu. Tapi aku sudah mengikrarkan janjiku dialtar, menikah dengan laki-laki Batak, yang notabene mendoktrin kan itu dimasing-masing keluarga besarnya. Awal-awal pernikahan yang kujalani, hal itu tidak menjadi masalah yang berarti. Tapi sejalan dengan berjalannya waktu, kehadiran anakku Bulan tak bisa merubah doktrin yang telah terpatri di lingkungan mertuaku. Secara aku tak berdaya karna memang siapa yang bisa mengetahui isi hati Tuhan, dibalik rencana mengapa aku tak dikaruniakan anak laki-laki sejauh ini ?. Mengikuti arisan dan perkumpulan keluarga besar suamiku pun menjadi momok menjemukan yang selalu kuhindari. Begitu banyak alasan ku untuk tidak hadir. Tapi suamiku sepertinya tahu kegelisahan hatiku dan membiarkan aku dengan segala alasan untuk tidak hadir. Ya mengapa dia harus marah dengan sikapku, kan dia yang lebih bertanggungjawab atas ini semua. Kromosom pembawa laki-laki adalah produksi dari laki-laki toh? Kromosom apa ya namanya, X atau Y, aku lupa, aku gak hapal pelajaran Biologi semasa SMA itu. Tapi memang laki-lakilah sebenarnya yang punya andil menentukan kelahiran seorang perempuan atau laki-laki kedunia ini.



Perutku terasa melilit. Lapar atau memang geliat janin di perutku? Hmmm, kau lapar ya nak ? Ku berdiri, bangkit dari kursi biru, mejaku kubiarkan begitu saja, ada beberapa kontrak yang masih harus di review.Nanti saja lah itu. Aku melangkah keluar ruangan mencari apa yang bisa aku nikmati siang ini.



PERASAAN ITU



Perjalanan ke pulau dewata kali ini agak sedikit lain. Apa karena cuaca mendung di balik jendela pesawat ? Hatiku mendesirkan sesuatu yang lain, yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kutepis perasaan itu, mungkin karena aku terlalu kecapaian belakangan ini, sehingga perasaan-perasaan yang tak perlu hadir, muncul. Masih 20 menit lagi pesawat mendarat di Bandara Ngurah Rai. Awan abu-abu semakin redup dilewati Garuda ini. Kau sudah sampai? Pasti sudah selalu begitu, kau pasti duluan yang sampai. Skenario kita tak pernah berubah. Suara pramugari menyentakkan lamunanku untuk segera memansang seat belt. Beberapa menit lagi akan landing, beberapa menit lagi aku akan kembali ke pelukanmu. Sudah hampir 2 tahun ini kita jalani kehidupan cinta kita. Dengan segala keterbatasan yang kita miliki, selalu ada alasan untuk perjumpaan ini. Goncangan roda landing di landasan airport membuncahkan segala rindu yang selama ini kutahan. Antrian penumpang yang buru-buru berjalan kepintu pesawat, membuat aku harus sedikit menunggu. Senyum pramugari mengucapkan terima kasih, kubalas dengan anggukan kecil. Aku berjalan menapaki tangga turun, memandang sekitar, hm Bali...suasanamu memang lain dibanding dengan kota-kota di Indonesia . Tak pernah aku bisa melupakan tiupan angin selamat datang mu.





Ini hari kedua aku disini, kau belum datang juga. Tadi malam kau minta maaf belum bisa datang tapi berjanji pasti datang besok siang. Semilir angin di uluwatu, di sore menjelang senja, gerombolan kera berlarian, sebagian lengket dipelukan kera betina. Aku memandang ke laut, kilau air tertimpa sinar matahari September. Angin kembali menerbangkan anak rambutku dan mepermainkannya dengan nakal. Kuambil saputanganku, kubiarkan ia menghias rambut yang semakin acak-acakan. Ada desir dihati ini , teringat ketika kau lakukan itu dipertemuan kita terakhir. Kau ikat erat simpul saputangan itu dileherku, sambil kau cium lembut leherku.Kupejamkan mata, aku begitu rindu padamu, mengapa ada perasaan aneh bergejolak dihatiku, mengapa perasaan itu kembali membuncah? Kutepis, walau hatiku tak bisa mengelakkan perasaan itu, tapi kuyakinkan, dan kubisikan ke jiwaku, tidak akan terjadi apa-apa.Ini muncul hanya aku terlalu lelah.



AIR MATA KITA



Sepertinya semua ini memang harus kita akhiri. Maafkan aku. Aku terdiam dalam keterpakuan. Tak sadar atau memang tak mau sadar. Aku dengar kata-katamu. Tapi aku tak mau menyadari bahwa ini benar suaramu. Muludku masih menganga ketika kita bertatapan. Muludku masih menganga ketika kau raih tanganku. Dingin badanku, sedingin tanganmu. Maafkan aku. Sekali lagi kalimat itu kau ucap lirih, hampir nyaris tak terdengar.Tuhan, ini kah jawaban dari perasaanku dua hari yang lalu. Ketika ada denyut yang lain mengiris hati ini. Tuhan, aku belum siap. Aku tau ini sangat menyakitkan, bisikmu, sambil mencoba memelukku. Aku yang diam seperti patung, hanya mengikut saja ketika kepalaku menyatu di dadamu. Hangat air mata akhirnya tumpah jua dipipiku. Sedikit kurasakan ada tetesan di rambutku. Sepertinya kaupun menangis. Maafkan aku,maafkan aku. Kau ulangi lagi kalimat itu. Muludku terkunci dalam kebisuan, aku tak punya stok kata-kata yang bisa kuucapkan. Terlalu sakit, terlalu tiba-tiba, aku tidak mempersiapkan hari ini akan datang.

Teramat sakit ketika jatuh cinta, jika yang dicintai tidak dapat dimiliki. Teramat menderita ketika jatuh cinta, jika yang dicintai hanya dapat kita tatap dari jauh. Teramat amat perih ketika jatuh cinta, jika yang dicintai harus dimiliki orang lain. Jiwaku seperti terbang melayang. Aku seperti mayat hidup. Tak merasakan apa-apa lagi.

Maafkan aku, dia nekad menyayat nadi tanganya. Aku masih ingat anak-anakku. Kasihan mereka. Itulah kata-katamu, menikam sukmaku, rusukku,kau lebih memilih meninggalkan aku . Tuhan, aku tau aku jahat, tapi apa harus ini hukumannya. Aku belum siap kehilangan dirimu.

Kita belajar membohongi perasaan kita masing-masing, untuk orang-orang yang mencintai kita. Membohongi setiap helaan napas kita, membohongi setiap tetes darah yang mengalir di nadi kita, membohongi detak jantung kita, membohongi syaraf-syaraf otak kita, sungguh teramat sulit membohongi diri karna sungguh perih ternyata.



BINTANG



Kedatangan Bintang kecil dirumah kami, benar-benar laksana sinar yang menghangatkan jiwa penghuninya. Mendadak rumah menjadi tempat yang nyaman buat suamiku. Dia betah dirumah lebih dari delapan jam. Bahkan kadang dia mau tidak masuk kantor demi sang Bintang. Bahkan rela mengganti pokok, memberikan susu, atau menemani aku menyusui si Bintang dimalam hari. Suatu hal yang tak pernah kurasakan dulu, waktu sang Bulan hadir. Apa begitu besar arti seorang anak laki-laki di kehidupan nya, sampai semua ritualnya berubah. Kuakui hubungan kami semakin dekat. Matanya yang dulu tak memperlihatkan cahaya ketika menatapku, belakangan ini kami makin sering bertatap mata. Ah, apakah dia merasakan tatapan mataku . Apakah dia tau cahaya mataku bukan untuk dia lagi. Cahaya itu sudah berubah pasti.Kuharap kau tak menyadarinya.





CERITA BINTANG
(jeda sejenak menanti ilham)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar