Senin, November 16, 2009

SURTI

SURTI
Liany Ruth Toepang

Aku menatap jendela. Gerimis masih meliuk mengikuti irama angin. Pagi ini terlalu amat dingin.Kutarik syalku, kurapatkan, wangi kayu putih disyalku masih tercium, sisa sapuan tadi malam yang lebih dingin dari pagi ini.
“Surti”, panggilku
“Iya Bu,” tergopoh-gopoh Surti mendatangiku. Selalu dia begitu jika ku panggil
“Hari ini kau tak usah masak, beli saja lauk di warung Uda Kapau, rambutmu perlu dirapikan, sekaligus creambath saja, pulang dari salon kamu beli ayam gulai, paha, 5 potong, gulai sayur paku dan perkedel 5 potong,jangan lupa sambel ijo nya.”
“Iya Bu,” lirih Surti menjawab, seperti biasa dia selalu menunduk tak pernah menatap mataku.
“Pergilah , ambil uangnya di dompet ku seperti biasa”, ku biarkan dia pelan berjalan menunduk meninggalkanku

Surti, gadis desa Bambu, 20 kilometer dari kampung nenek ku di Bengil, harus melewati sungai berjalan kaki, dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati hutan bambu, disanalah dia dijemput nenekku ketika masih berusia 12 tahun. Surti gadis desa dengan wajah polos anak desa yang baru bertumbuh pada waktu itu, dengan kulitnya yang agak lain dibandingkan teman-teman sekampungnya, kuning gading, bersih tak bercacat.Anak yatim piatu, dibesarkan oleh ibunya yang tak jelas suaminya, meninggal karena terlalu lama menderita luka bathin. Awalnya Surti hanyalah akan menjadi penjaga rumah kami, karena aku baru menikah dengan Bram suamiku dan Bram sering meninggalkanku karena tugasnya sebagai pilot di salah satu maskapai ternama waktu itu. Ditambah lagi aku masih sibuk mengejar karierku dan sekaligus mengejar waktu untuk kuliah menyelesaikan thesis S2 ku.
Namun karena kesibukanku dan dia lebih sering tanpa kegiatan setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku memutuskan untuk memberikan kursus masak dan menjahit di dekat rumah kami, daripada dia kesepian di rumah sendiri. Walaupun kursus menjahit hanya diterapkan untuk menjahit baju-bajunya saja ataupun menisik baju-baju kami yang terlepas kancingnya, bagi dia sudah teramat bangga. Tak pernah sedikitpun dia meminta ijin aku untuk menerima jahitan dari tetangga walapun pembantu tetangga dekat rumah kami sudah sering mendesaknya. Surti telah kuanggap sebagai adikku daripada pembantu kami. Waktu berlalu , namun dia tetap polos seperti gadis desa. Kesantunannya tak berubah sampai sekarang. Dia amat tahu diri dan tak pernah sekalipun melawan atau berkata kasar padaku. Apapun dilakukannya dengan tulus. Aku amat sangat menyayanginya.

Kesibukanku mengejar karier dan menyelesaikan S2 , menuntutku untuk mengikuti ritme waktu yang tiada dapat terkejar. Apalagi bukan mudah tinggal di Ibu kota dengan separuh waktu dihabiskan dijalan belum lagi harus berhadapan dengan banjir dan kemacetan. Atas kesibukanku yang luar biasa, kami berkomitmen untuk menunda kehamilanku. Bram , seperti biasa, adalah pria yang menuruti apapun kemauanku. Apalagi waktu nya tersita dengan jam terbang yang tidak bisa senantiasa menemaniku.

Hingga akhirnya tak terasa sepuluh tahun berlalu, dan kami baru menyadari bahwa kami terlalu sibuk sehingga melupakan rumah tangga kami. Apa yang kucari selama ini tak habis-habisnya dapat memuaskan keinginanku. Bram mulai menuntut aku untuk memiliki anak. Jujur kukatakan, dalam hati aku pun rindu akan suara anak kecil di rumah ini. Rumah sebesar ini, dengan kamar-kamar yang kosong, rasanya hampa dan sunyi. Sepuluh tahun aku melupakan kodrat seorang istri adalah melahirkan, dan aku terlalu bodoh baru menyadarinya sekarang.

“Maaf Bu, kami telah memeriksa amat sangat detail, hasilnya tetap sama,” Dokter Lim sekali lagi menegaskan hasil diagnosanya, ketika aku kembali ke ruangan prakteknya untuk kesekian kali
“Tidak ada cara lain Dokter, apa kek, sekarang kan sudah jaman canggih, mestinya dokter punya alternative lain,” suara ku bercampur mendesak dan memelas. Ada nada hopeless disana
“Jika ada cara lain, pasti sudah saya sampaikan Bu Bram.Sekali lagi maaf.”
Gontai aku menyeret langkahku. Hatiku benar-benar remuk dan bercampur penyesalan. Andai aku tau lebih awal.Andai aku tidak menunda-nunda kehamilan setelah pesta pernikahan kami dulu. Andai, andai, andai….Kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku, bergema memenuhi ragaku
“Kita pulang saja”, Bram merengkuhkku pelan membawa ku pulang
Aku mandul dan tak mungkin punya anak, bahkan kanker ovarium stadium 2 telah mengharuskan agar mengangkat rahimku saja, toh aku mandul dan tak mungkin punya anak. Betapa aku menjadi orang paling kerdil di dunia ini. Bram seperti biasa, terdiam, tak berkomentar apa-apa, mengelus lembut rambutku dan setia mendengar isak ku , mobil melaju membawa kami pulang.



“Hm..melamun lagi, “ Bram memelukku dari belakang. Selalu ada senyum di balik wajahnya yang menawan. Sudah berapa lama dia disini memperhatikan ku melamun.
“Baru sampai?,”jawabku pelan menyambut tangannya yang menggenggam. Ciuman lembut di kedua punggung tanganku adalah obat kerinduanku.
“Baru saja, pintu depan tidak dikunci, kemana Surti ?,” tanya Bram mengalihkan tatapanku.
“Sebentar lagi dia pulang, aku suruh beli lauk kesukaanmu, ayam gulai dan sayur paku, kau ingin mandi dulu atau …?”, tak kulanjutkan pertanyaanku. Karena kudengar bunyi pintu ditutup dari arah samping. Genggaman tangan Bram merenggang, dengan sedikit gugup dia menjawab akan mandi dulu.

Seperti biasa, jika Bram pulang dari dinasnya, malam-malam pertamaku tidaklah terlalu lama, karena malam-malam berikutnya, aku hanya kembali duduk tertegun menatap awan-awan langit nan hitam, jika ada cahaya bulan pun, aku hanya mampu membuang mukaku, malu dengan tatapan matanya yang seakan mengejekku atau malah mengasihaniku. Di kamar belakang, Surti dengan segala kepolosannya menemani suamiku demi seorang keturunan untuk kami kelak.

Mdn; 16 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar