Senin, November 16, 2009

PEREMPUAN ITU MASIH DI SANA

PEREMPUAN ITU MASIH DI SANA
Liany Ruth Toepang

Perempuan itu masih disana, memakai kaus biru, dengan bawahan kain sarung sedikit buram warnanya tanda telah dimakan waktu. Anak rambutnya berterbangan pelan menahan teriakan angin sore ini. Rambut ikalnya dijepit dengan mainan rambut mirip bunga kamboja palsu, biru muda. Matanya lurus menatap ke laut lepas. Sore ini ombak laut lepas masih semangat menampar-napar wajah batu karang sambil memercikan buih-buih air ke arah celah-celah tebing.
Uluwatu masih saja menimbulkan aroma laut yang terlalu amat kucintai. Setiap tahun ritual menyinggahi daerah ini telah melayakkan aku menjadi seorang pemuja tempat bernama Uluwatu. Sore ini masih seperti tahun-tahun yang telah lewat, aku kembali hadir disini, menatap air laut dipermainkan ombak, menatap langit seperti tak bertepi, seraya menanti senja mulai kembali membawa mentari pulang ke dasar laut. Dan gadis itu untuk kedua kalinya kulihat sejak kali pertama ku bertemu dengannya di sini. Masih seperti tahun lalu, berdiri menatap laut, diam dalam bisunya angin.
“Sendirian Mbak ?”, kucoba memecahkan kesunyian di sisi tempat kami berdiri menatap laut.
Perempuan itu jawab dengan anggukan pelan sambil menatapku,memalingkan wajahmu kembali menatap lurus ke laut lepas. Itulah pertama kali kulihat mata indahmu.
“Aku suka wangi laut, dengan terpaan semilir angin menyapa lembut kulit wajahku”, itulah kali pertama kudengar suara lembutmu, setelah pertanyaan awal ku menyapa mu mendiamkan aku cukup lama.
“Ditambah hangat mentari yang sebentar lagi akan kembali ke peraduannya”, lanjutmu sembari tersenyum padaku. Ah, indah nian senyummu.

Wajahnya tidak cantik, amat sangat sederhana malah. Tapi tatapan matanya yang lembut dengan mata indahnya yang bersinar, serta sunggingan senyum rendah hati diiringi suara merdu nya, alangkah aku amat bersyukur telah sempat bersisian dengan perempuan ini. Aura kecantikan dari dalamlah yang meronakan wajahnya dengan kedamaian.
Pertemuan yang hanya sekejab, tanpa sempat menanyakan nama dan asal-usul, sebentar kau telah meninggalkan sisi tebing ini, setelah mentari tenggelam di ujung lautan. Tanpa berpamitan, kau meninggalkanku, yang masih termangu menyaksikan bola api raksasa seperti tenggelam ke dasar laut. Aku yang masih amat takjub menatap sunrise, tersadar kau telah jauh berjalan disisi tebing yang lain, pelan perlahan langkahmu amat teratur terlihat dari kejauhanku.

Bagiku Uluwatu bukan hanya sekedar tempat menikmati laut dikelilingi tebing.. Bagiku Uluwatu bukan hanya tempat menatap mentari pulang keperaduannya. Bukan juga karena keindahan kecak api menari-nari lompat-melompat menyambut sang malam. Bagiku Uluwatu adalah lambang kesetiaan. Dimana aku pernah tidak sendiri disini, dulu.

Mata teduh itu membuat aku lupa akan semua pergumulan bathin yang menyiksa hari-hari ku. Apa yang membuatku tersengal-sengal ketika tak ada asa lagi dihidupku, mata itu telah meruntuhkaan seluruh rintihan di urat-urat nadiku selama ini.
“Lihat ombak itu, sejauh apapun dia pergi, pastinya dia akan kembali ke pantai, menyapa pasir-pasir disana, dengan buih-buih samudra yang menuntun nya pulang ke rumahnya, walau hanya sekejap pun dia tetap akan pulang”, kata-kata yang merubah persepsiku tentang kesetiaan.
Bagiku selama ini kesetiaan hanya sepotong kata yang terdiri dari huruf mati dan hidup, yang tak berarti apa-apa, hanya kebetulan dapat dirangkai menjadi satu . Kesetiaan adalah semacam kutub terbalik yang selalu tidak ingin mendekat padaku.
“Bagi ku ombak adalah lambang kesetiaan”, lanjutmu.
Aku tersenyum pahit mendengarmu waktu itu.Agak lama kucerna kalimat mu tadi. Namun seperti yang kukatakan , kalimatmu telah merubahku. Apalagi sejak hari itu, kebersamaan kita tak terpisahkan. Waktu yang sebentar membuat kita begitu dekat. Betapa aku merasa aman di dekatmu, padahal kau bukanlah siapa-siapaku. Tebing ini , tebing Uluwatu ini menjadi saksi bahwa kita pernah berdua disini, menghabiskan waktu kita yang sementara. Sementara ? Ya , sementara. Akan ada waktu untuk mu untuk kembali. Kita berdua dengan keterbatasan kita, betapa amat inginnya menghentikan sang waktu, biar kita tetap berdua disini selamanya. Andai waktu bisa membaca pikiran kita, dan sedikit berbaik hati menghentikan detik demi detiknya waktu.
“Aku tidak bisa sering-sering kemari, mungkin harus kita terima kenyataan ini. Tapi jika kau mau, datanglah setiap tahun di hari yang sama seperti hari ini, aku akan datang , berdiri menatap laut dan iring- iringan gelombang. Seperti itulah kesetiaan ku padamu”, itulah kata- kata permintaanmu kita.
Dan kata-katamu itulah yang kupegang sampai detik ini. Bertahun-tahun aku selalu datang tepat di hari kau mengatakan kata terakhirmu. Dan bertahun-tahun pula aku tidak menemukan kau ada disini.

Sore ini, hari ke dua ku, kembali aku menemukan perempuan itu, masih dengan kaus biru kali ini tidak dengan bawahan sarung, namun seperti kain panjang yang dililitkan di pinggang. Anak rambutnya masih berterbangan. Rambut ikalnya masih dijepit dengan mainan rambut seperti bunga kamboja palsu, biru. Dia masih menatap ke laut, diam dalam bisu nya angin.

“Sepertinya kamu sedang menunggu seseorang,” dia yang menyapaku kali ini .
“Apakah aku seperti sedang menunggu seseorang ?”, kali ini suaraku keheranan dan sedikit malu karena mengetahui tujuanku.
“Aku melihat kau menatap tarian gelombang begitu serius. Seperti kau pernah ikut bersamanya.Kau begitu larut , sungguh kau seperti ingin cepat sampai ke pantai”
“Aku mencintai gelombang. Bagiku gelombang lambang kesetiaan.Dia akan pulang walau sebentar, dan akan kembali lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama”, jawabku lirih. Sedikit tercekat mengucapkan kalimat terakhir, karena selintas aku seperti melihat bayanganmu di lautan sana.
“Gelombang memang lambang kesetiaan, namun kekuatannya juga bisa amat menyakitkan. Dia bisa datang secara lembut, namun juga bisa menamparmu dan mencampakanmu ke dinding tebing”, kalimat mu menusuk hatiku,
“Pulanglah, jangan pernah datang lagi ke sini, dia telah pergi untuk selama-lamanya. Aku istrinya, aku telah tahu semua tentang kalian. Tahun lalu aku ingin menegurmu dan menyampaikan pesan dari nya. Namun aku takut aku salah orang. Aku kembali lagi tahun ini, tepat di hari kalian bertemu terakhir kalinya,” lambat laun aku tak mendengar lagi perkataanmu, aku telah limbung, pikiranku kembali kepada mu, aku seperti melihat tatapan matamu yang hangat. Dan kalimat- kalimatmu tentang gelombang benar-benar telah menghantamku dengan amat kuat, aku terjatuh dan tercampak diantara tebing Uluwatu.


Medan; 16 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar